MIMPI BURUK ROCK (gaya) INDONESIA

Deep Purple Mark II, 1969 - 1973, 1984 - 1989, 1992 - 1993. 
Kalau seorang penggemar music pop genre cinta gombal mukiyo di Ivory Coast ditanya tentang grup band cinta gombal mukiyo yang hebat, belum tentu dia akan menjawab ST12. Tapi kalau seorang penggemar music hard rock di Tuvalu… atau dimana saja, ditanya tentang salah satu grup band hard rock tingkat legend, ada kemungkinan sangat besar mereka akan menjawab Deep Purple. Ya, group dari Ingris ini termasuk pada barisan pionir kaum rocker yang ingin (jauh) lebih keras dari (sekedar) rock, dan sukses baik musical maupun komersial. Bersama Led Zeppelin dan Black Sabbath, khalayak rock mania 70an menjuluki 3 super grup ini sebagai ‘unholly trinity’ yang menciptakan hard rock dan membangun pondasi metal. Led Zeppelin memang agak lebih perkasa ...
over all, namun Purple lebih loud – bahkan tahun 1975 Purple dinobatkan sebagai band paling keras sedunia, nomer-nomer Purple yang hits seperti Smoke On The Water, Highway Star, Soldier Of Fortune, juga relative lebih gampang ditirukan, lebih gampang ditangkap telinga, ketimbang Stairway To Heaven misalnya, atau lebih lagi Since I’ve Been Loving You. Sampai aku saja lumayan kalau gitaran Soldier Of Fortune yang jadi soundtrack malam minggu jombloku bersama teman-teman pas SMA.
Sepanjang kiprahnya Deep Purple mengalami beberapa kali pergantian formasi dimana seperti kita tahu formasi terbaiknya dan dimasa puncaknya adalah Ian Paice pada drum, Ritchie Blacmore pada gitar, Roger Glover pada bass, John Lord (may you rock in peace) pada keyboard dan Ian Gillan pada vocal. Formasi ini terkenal sebagai Deep Purple Mark II periode pertama (1969 - 1973).
Pada tahun 1975 Ritchie Blacmore keluar diganti Tommy Bolin. Tidak sehebat sebelumnya karena signature klasik pada hard rock ala Deep Purple ada pada Ritchie Blackmore dan John Lord, namun formasi ini punya tempat tersendiri dalam sejarah persentuhan dunia rock Indonesia dengan rock dunia.
4 dan 5 Desember 1975, Stadiun Senayan Jakarta menjadi saksi gelegar international rock sebagai salah satu tempat untuk rangkaian konser mereka dalam tur pertama bersama Bolin. Sayangnya, terlepas dari kegairahan menjadi tuan rumah bagi sebuah super grup yang bahkan telah menginspirasi Roma Irama untuk memodernisir dangdut bersama OM. Soneta, konser ini menjadi rock tragedy seperti dilaporkan oleh penulis music Peter Crescenti untuk majalah Rolling Stones (edisi 29 Januari 1976), yang untuk artikelnya memilih judul; Mimpi Buruk Indonesia. Berikut ini petikan dari tulisan Peter yang saya terjemahkan secara bebas.
Tragedi dan kekacauan melanda tour supergroup hard rock Deep Purple di Jakarta 4/5 Desember 1975. Seusai konser malam pertama, seorang kru tewas dalam kecelakaan lift, jatuh terhempas dari lantai enam hotel. Sementara pada konser malam berikutnya polisi lengkap dengan senapan mesin, tongkat pemukul dan anjing-anjing doberman menggasaki penonton; 200 orang mengalami luka serius.
Deep Purple tampil dua malam berturut-turut dihadapan total sekitar 150 ribu penonton di lapangan terbuka Stadiun Senayan sebagai bagian dari tour pertama mereka setelah memasukkan gitaris Tommy Bolin dalam formasi band. Pada pertunjukan pertama dimana sekitar 20 ribu orang tanpa tiket membongkar pagar untuk bergabung dengan 35 ribu pemegang tiket di dalam, situasi relatif bebas, dibiarkan saja oleh polisi. Konser usai. Saat sudah di hotel, salah seorang kru sekaligus pengawal pribadi Bolin; Pattsy Collins, terlibat pertengkaran dengan dua kru lainnya. Collins lantas pergi menuju kamarnya di lantai lebih atas. Karena tak sabar menunggu lift, Collins memutuskan untuk berjalan melalui tangga darurat, yang ketika sampai ternyata pintu masuknya terkunci. Di situ Collins melihat sebuah pintu lain yang tak bertanda dan tak terkunci. Dia melangkah masuk, dan meluncur melalui jalur lift khusus servis sejauh tiga lantai ke bawah, membentur jaringan pipa penyalur air panas. Collins segera dibawa ke rumah sakit, namun meninggal esok paginya karena luka dalam dan luka bakar. Yang mengejutkan, polisi Jakarta menangkap dua kru yang bertengkar dengan Collins dan kemudian juga menangkap menejer band Rob Cooksey. Ketiganya ditahan karena dugaan pembunuhan dan diisolasi selama dua hari. Cooksey mengatakan, ‘Kami seperti diancam dan ditempatkan dalam kecurigaan bahwa kami melakukan pembunuhan. Kami harus menandatangai aneka macam dokumen. Kau tak akan percaya mentalitas para polisi ini.” Pada malam berikutnya, dengan tiga anggota tim dalam penjara Deep Purple bermain untuk kali kedua. Sekitar 6000 polisi bersenjata dan memakai helem dengan didukung oleh anjing-anjing penyerang, menyebar di sekeliling stadiun. Sebelum konser dimulai, ada pengumuman yang mengarahkan orang-orang Eropa diantara penonton untuk berkumpul di sebelah auditorium. Begitu musik mulai dihentakkan dan orang-orang Indonesia yang lapar rock mulai bergoyang, polisi pun langsung menghambur ke tengah kerumunan, dengan ganas mengayunkan tongkatnya, memukul, menendangi penonton yang bersorak dan berjingkrak. Kemudian anjing-anjing dilepaskan, bergabung dalam penyerbuan. Demikian kesaksian John Lord, “Setiap kali satu kelompok penonton berdiri dan bergoyang langsung diserbu. Kulihat seekor anjing super besar menggigit seorang anak di tangannya, menyeretnya dengan gigi membenam di daging tangan anak itu.” Akhirnya Deep Purple menghentikan pertunjukan yang baru lagi separo digeber dan meninggalkan panggung dengan campuran antara rasa takut dan eneg. Cooksey menggambarkan aksi polisi-polisi itu sebagai, “Mereka menggila. Pergerakan mereka seperti maneuver (yang terencana dan sistimatis). Itu mimpi buruk.”

Comments

Popular posts from this blog

WIT … WITAN PLASTIK (naskah pertunjukan)

SEBUNGKUS PUISI-PUISI HUJAN