Posts

Showing posts with the label Puisi Cinta

PERJALANAN CINTA

Perjalanan cinta kehilangan jalan Pacar lama putus ke pacar baru putus Terhenti, di manakah ini ? Tempat ini bagai mati Angin netral dalam damai Iklim gersang tapi Bebatuan adalah kehidupan Hidup serupa batu-batu Membongkah rupanya dibentuk seribu tahun hujan Dan seribu tahun kemudian adalah kering Rupanya panas bergurat kata dusta terik Membakar hati situasi Peradaban arang, bara, asap Merongsok dalam reruntuhan gedung dagang Komoditi lahir lahir Barang-barang kemanusiaan terbeli on line Dikirim ke rumah-rumah masyarakat perumahan Kerja dan tidur dalam troli Cinta menajam menikam Lalu dimamah-dimakan Dan sebutir kepala Dari seorang kelapa Dijatuhkan terus dicungkil Terus diparut terus disrundeng Gosong Pahit dimakan awal 2000an jaman edan

SAJAK BELAKA BUAT D.A (puisi)

Image
Berputih abu-abu Kau ... Tanpa tahu Tohok rinduku Sayangkah ... Sribu kilo kita yang terbentang ? Jika dekatpun Kuduga pasti sudah kalah Berputih abu-abu Lesi-indah seragam bibirmu Biar aku tanpa permisi Kasih cium dari sini Didot Klasta Salatiga 80an

SOLO KAPIKUT 3 - geguritan koplo

Image
Putri Solo adalah salah satu lagu keroncong yang melayangkan aku ke kota ini. Apalagi kalau dinyanyikan Mbak Sundari Sukoco dalam gaya kroncong asli.  Ngelakku dak lerenake ana warung kuwi; mBaluwarti. Es setrup soto marhen. 'Rambute Mase apik lho...', ujare Mbake. 'Rayuan kere !' bathinku. Sruput ... Nglangut ... Aku mikir gadisku. Sinambi nyawang Kidul kana. Nggadiiing ... Nggading ... Pitakonku tiba karo godhong garing : "Aneng endi kowe, Nok ?" Didot Klasta Solo, awal 90an jaman kesepian

SOLO KAPIKUT 2 - geguritan koplo

Srengenge cahyane ntrawang jroning bathin. Wektu iki dadi omah suwung. Amung kuthuk siji lan babone; ing latar ngarep. ... Bener. Omah pancen suwung. Rikala aku teka. Rikala Solo kapikut awan. Rikala mbayangke rupane Bapakmu. Memper Oetomo Ramelan. Ning Bapakmu melawan : PKI. Ning Ramelan : PKI. Pilih endi jal ? solo awal 90an jaman kesepian

SOLO KAPIKUT 1 - geguritan koplo

Image
Jika teringat Solo juga harus mengenang Gesang. Sebab beliau pencipta lagu Bengawan Solo. Kutha iki katon mampring. Apa atiku ? Bis tingkat ra perduli, tancep. Nggajul angen-angen. Lungsuh-lungset lumaku. Sikil-sikil sadawaning ratan. Nanging panas awan; tinampa tanpa panglipuran. Didot Klasta Solo awal 90an jaman kesepian

SOLO SIREP part 3 - geguritan koplo

Apa jan-jane ... Aku - Kowe ... Prahu siji ... Lelayaran ; dhewe-dhewe ? Apa jan-jane ... Aku - Kowe ... Prahu loro ... Lelayaran ; golek-golekan ? Apa jan-jane ... Aku - Kowe ... Pesen karcis ; Tampomas ? Apa jan-jane ... Aku - Kowe ... Wis kerem suwe ? solo awal 90an

SOLO SIREP part 2 - geguritan koplo

Iki jan wengi. Saking dene le nggrantes. Wengine dak wening-weningke. Weninge ethok-ethok njedhul putri. Putrine ujug-ujug nggandheng tanganku. 'Halo Darling ...' Aku misuh. Ojo-ojo konangan, ndhepipis lagi ngrogohi separo atiku dhewe; karo mbayang-mbayangke. solo awal 90an

SOLO SIREP part 1 - geguritan koplo

Lampu wus padha murup. Paling gumebyar lestoran Diamon. Aku ...? Ana kene wae pojok kutha. Grombolan wong kewengen. Mbayangke sedan. Bocah enom nggaya trek-trekan setan jalanan. Duwit ngepres ngampet rokok. 'He ! Ojo mencuri pandang ! Aku dudu Ali Topan ! Maneh cowokmu iku sangar tenan ...' Gusti Gusti ... Aku mung kaya wong ilang. Diece pepadhangan. Gak penampilan. Lan separo atiku. Mabul-mabul ; dhewe. solo awal 90an

MATA INDAH MATA SAPI (puisi)

Image
Masa kecilku di Kampung Baru Kalitaman Salatiga. Sebelah kiri bekas rumahku, sebelah kanan Pak Dhe - Bu Dhe Sastro, depannya Mak Klumpuk, depan rumahku Pak Ngasri - Bu Warti. Di gang itulah bersemayamnya hakekat kenangan puisi ini. Gang yang se- perti abadi. Ini poto 2015. Tak ber- ubah sejak 40 tahun lalu. Terkenang dulu kamu Ndulang ponakanmu sore itu Rok kembang abang ayu Bandhomu oh, biru Hak ... Hak ... Aemmm Seraya jakun mak cleguk Kalo aku, nasi thok-thok pun mau Kalo yang ndulang kamu Terkenang yang dulu itu Nostalgia cinta belum seruwet masa kini Tak perlu ngerti 'murni' Namun terasa sampai ulu hati Nyeri yang manis-manis geli Ataukah naif ? Ataukah dungu ? Atau kasih yang membersit kala Di benak terpatri hanya Mau dolanan sayang saja Begitu itu Kawan Terkenang dulu kita Masih monyet-monyet belaka Alam pikiran serupa kacang, pisang Dari dahan ke dahan bergelantungan Tak perlu konseptualisasi Tak perlu sakralisasi

'sekepal kelu' BUAT KAU

Sayang di mana-mana. Kita. Puisi perjumpaan tak bisa-bisa. Tiada tempat mesra di negri-negri luka. Instansi luka. Penjara. Dept. Store luka. Penjara. Pabrik luka. Penjara. Detasemen luka. Penjara. Mau ke mana. Ke sini hati. Disayat kianat. Ke sana jiwa. Dibacok sandiwara. Tak ke mana-mana. Dibantai usia. Termangu TO. Kartu As hati plastik. Panah asmara mematikan beneran. M-16. Dalam bidikan kasih yang hampa. Pelornya tidak hampa. CROT ! Luka berdarah. Tembus. Blong dan resah. Mau berontak. Blong dan resah. Engkau padaku. Aku padamu. Balaikota penuh mahasiwa negara. Aku bawa benderanya. Engkau bawa seprit. Lagu Anoman Obong belum ada. Balaikota obong belum kunjung jua. Tapi ada yang kobong antara kita nampaknya. Pijarnya hilang ditelan para mahasiswa negara yang kupegang benderanya. Kucampakkan. Sebab telah kita pilih rumput yang diinjak-injak ini upacara. Opo Kabare ? Duduk kita bersisihan tak pernah sedekat itu. Anganku melambung tak pernah semungkin itu. Kita. Jadi pengantin pokok wa

(enggak) PERLU JUDUL

Pukul tiga sore. Angin kencang di kota S. Hujan deras yang dramatis meminggirkan kere-kere di emperan kikir orang kaya yang dipilok : A W A S A N J I N G G A L A K !!! Seperti seting roman sosial nasional. Hawa ribut bertiup dari dengus rusuh moncong kongkalikong demokrasi oportunis. Air kencang menggelontori got-got dan duit seperak dua yang ditelan lumpur. Pekerja dihujani butiran tajam kondensasi pengangguran. Terus mencari barang sekeping. Tapi sekeping saja tak pernah ada di bawah meja bertaplak batik Iwan Tirta. Dan di atas meja orang-orang batik bermain dadu gelinding. Menggelindingi struktur cucuran keringat kongsi Indonesia. Hasil keringat jatuhnya di kantung petinggi batik dan juragan butik. Tubuh berkeringat jatuhnya terhumbalang di pelimbahan. Dengan seragam tetron murahan orang-orang tetron terhanyut menjauhi meja dadu. Sebagian mencair. Sebagian mengeras. Sebagian menyublim. Sebagian gaib sikon. Bagian terbesar telah begitu geram dan jemu. Menanti bahka

BERPIKIR IDEOLOGIS KALA MEMPERTIMBANGKAN KAU (puisi)

Berdiri di pintu pagarmu. Kukuhkan privatisasi agraria. Ada rumor adam-hawa mendesing, dalam kebul knalpot hari-hari. Lalu-lintas cinta kota diburu waktu adalah uang ; sibuk. Bahwa hati kita tak mengenal klas. Ku mau dibilang sibuk biar tak sunyi, dikucilkan peradaban modern. Sepanjang kabel listrik mendekor langit wajah elektrik. Dan awan alam jadi jemuran sarung gelandangan compang-camping. Burung-burung ciblek terdidik anarki (tidak ditindas aturan) jalanan. Polahnya kurang ajar menakar ; berapa tajam nyali macho yang kuhunus ? Sok eksistensial (keberadaan diri) jantan jagoan liberal. Tapi aku cuma punya ilmu sekolah dasar. Pengecut konservatip (kolot) anak-cucu rodi. Aku bukan ahli pedang ... Gumamku. Bahkan sekarang jaman senapan ! Sorak ciblek-ciblek. Aku bukan militer ... Gumamku. Arm struggle Coy (perjuangan bersenjata kawan) ! Sorak ciblek-ciblek. Bangsat ! Pendirian revolusionerku bagai air di daun talas. Air adalah sungai tindakan hidup bercabang tiga. Pemenang. Pemenang.

BELAJAR NYEKET MASYARAKAT BERAWAL DARI GARIS CINTA

Jika sehabis muntah sebab pemimpin busuk Ku jadi ereksi dan ingin jalan bebas Dengan tumit melonjak-lonjak Seperti manusia harian Just for fun Aspal mati Karnaval bisnis berlalu Kapital dan senjata verboden Kota tanpa developer Ruang publik tiada tragedi, selain total cinta yang no vested interest Dengan lontar ujung kerdip mataku Padanya pas kutuju Berdiri dalam 'slow motion' Menyibak rambut bikin cerai-berai KAU ! (sebuah nama rahasia) Pirangmu ... Indah taburan bougenville Bumiputra masa kini mbayangin musim gugur subtropis penjajah Lalu ingat lukisan gaya Sokaraja Tanah tuan tanah Ternak Cukong Jakarta kaya Pendopo raja kecil Kota tak bernama Kemajuan nan kejam Dan becak bergambar panorama a la lukisan Sokaraja Lalu diterbangkan angin Tinggal aku, sore serta sejenak netral Semuanya ... Kawinlah saja ! Sebelum kota ini, disaput kelabu buram Warna pelukis fatalis Ingin mati gagal menggambar ; pembangunan